














Tindakan pencucian uang merupakan salah satu aktivitas kejahatan yang rumit yang memengaruhi berbagai industri, termasuk sektor perumahan (properti). Para pelaku kejahatan mengeksploitasi pasar perumahan untuk melegitimasi keuntungan yang diperoleh secara tidak sah. Seringkali, hal ini menyulitkan pihak berwenang untuk melacak dan mencegah kejahatan tersebut. Melalui artikel ini akan dibahas bagaimana mekanisme yang digunakan oleh para pelaku kejahatan untuk mencuci uang melalui sektor properti, mendeteksi tanda-tanda bahaya terkait potensi skema pencucian uang, mengeksplorasi dampak pencucian uang, membahas strategi untuk mendeteksi pencucian uang, dan menyoroti pentingnya pelindungan terhadap praktik kejahatan ini.
Bagaimana para pelaku kejahatan mencuci uang melalui sektor perumahan (properti)?
Salah satu teknik yang umum adalah penggunaan perusahaan cangkang, yang merupakan entitas fiktif yang dibentuk untuk menyembunyikan kepemilikan dan asal dana yang sebenarnya. Perusahaan cangkang ini sering kali membeli properti, menciptakan kesan transaksi yang sah sekaligus menyalurkan dana ilegal ke pasar perumahan.
Metode selanjutnya adalah melibatkan pembelian properti menggunakan dana tidak sah dan kemudian meningkatkan nilainya melalui valuasi yang curang. Skema ini memungkinkan pelaku kejahatan untuk meningkatkan nilai aset dengan cepat sehingga dengan mudah diintegrasikan dalam laporan keuangan terutama sisi aset yang sejalan dengan peningkatan dana ilegal yang tercatat.
Dalam konteks global investasi atas real estate, kegiatan pencucian uang dilakukan lintas negara. Dengan upaya memenuhi regulasi di suatu negara (luar negeri), pembelian properti di luar negeri dapat menjadi celah dalam sistem. Tujuannya adalah untuk mengaburkan asal-usul dana, menciptakan skema yang rumit dilacak, terutama memanfaatkan transaksi berbasis kripto.
Dalam kondisi tertentu, pelaku kejahatan menjalankan strategi flipping. Disain awal dari strategi flipping adalah bahwa investor membeli properti dengan harga murah, melakukan renovasi atau perbaikan, dan kemudian menjualnya kembali dengan harga yang lebih tinggi. Lalu, disain ini bertransformasi dan disalahgunakan menjadi strategi cepat membeli lalu menjual properti dengan harga yang tinggi (tanpa ada renovasi/perbaikan material atas properti) dalam rangka menghasilkan kenaikan uang tunai yang signifikan cepat. Flipping seringkali dipergunakan untuk melegalkan peningkatan dana agar terlihat wajar. Maka tidaklah heran pada suatu titik tertentu, tingginya harga properti bersifat artifisial dan mendorong penggelembungan harga perumahan secara merata.
Early Warning!
Baik pembeli, pengguna, maupun investor profesional di industri properti, perlu memiliki kecukupan informasi atas modus pencucian uang melalui ceklis parameter, termasuk kewajaran historis atas valuasi properti yang ditargetkan. Dalam kasus tertentu, penjual maupun pembeli berkedok perusahaan maupun individu anonim (bukan pembeli/penjual sebenarnya). Parameter lainnya adalah strategi penjualan properti secara terburu-buru (cepat) dengan diskon yang menggiurkan. Cara ini disalahgunakan para pelaku kejahatan dengan skema menaikkan harga properti (misal 100%), lalu di tahun yang sama memberikan diskon signifikan (misal 60%) dalam durasi promosi sangat singkat dan atas sejumlah properti tertentu yang terindikasi digunakan untuk pencucian uang.
Indikator lainnya adalah saat pelaksanaan transaksi, terasa diperumit, terutama dalam hal pengungkapan informasi (basic information). Pelaku kejahatan bertindak seolah-olah tidak mengetahui prosedur yang benar sehingga mendorong para sales/marketing properti mencari jalan agar transaksi tetap dapat dijalankan.
Penyalahgunaan pihak ketiga juga terjadi, yaitu untuk tujuan mengaburkan sumber dana atau kepemilikan properti yang sebenarnya. Tindakan ini memanfaatkan perusahaan cangkang, entitas lepas pantai, atau individu yang bertindak sebagai proksi untuk penerima manfaat sebenarnya. Selain itu, terdapat pula wilayah hukum tertentu yang ditetapkan sebagai negara berisiko tinggi, dengan indikasi lemahnya pengendalian pencucian uang.
Risiko (Dampak) dan Pencegahan
Dampak utama pencucian uang pada sektor perumahan adalah distorsi harga properti, yaitu harga sangat tinggi dan menurunkan tingkat keterjangkauan pembelian oleh individu biasa. Jika menjadi tren, tentu saja merusak stabilitas pasar dan melanjutkan ketimpangan kemampuan ekonomi masyarakat. Pencucian uang juga merusak kepercayaan publik terhadap industri perumahan. Hadirnya “dana gelap” dapat menghalangi investor yang sah, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menghambat keberlanjutan pembangunan ekonomi.
Selain itu, masuknya uang hasil pencucian uang ke pasar perumahan berdampak signifikan terhadap pembangunan dan perencanaan perkotaan. Dalam beberapa kasus, dana ilegal yang disalurkan ke properti mewah menyebabkan gentrifikasi. Gentrifikasi merupakan bentuk perubahan wilayah yang dulunya sepi penghuni, lalu dihuni oleh penduduk berpendapatan lebih tinggi. Selain memaksa pindahnya penduduk lama, mengikis nilai-nilai kemanusiaan, juga sekaligus menutup kesempatan bagi individu berpenghasilan biasa-biasa untuk membeli properti di wilayah tertentu. Sangat dimungkinkan terjadi keterselubungan tindakan tidak etis (maupun tidak beretika) di dalam struktur keuntungan yang dihasilkan para developer perumahan.
Customer Due Diligence (CDD) merupakan salah satu prosedur yang andal untuk memverifikasi identitas dan profil pembeli/penjual untuk tujuan menurunkan risiko yang ditimbulkan akibat pencucian uang dan pendanaan terorisme. Ini merupakan bagian penting dari kepatuhan terhadap Anti Money Laundering (AML) dan Know Your Customer (KYC). OJK pun telah memyempurnakan regulasi ini dengan menerbitkan POJK Nomor 8 Tahun 2023 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme, dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal di Sektor Jasa Keuangan. Salah satu esensinya adalah agar lembaga jasa keuangan memperkuat budaya sadar risiko, baik manajemen risiko di internal maupun sistem pelaporan berkala kepada regulator, termasuk pendekatan berbasis risiko dan Individual Risk Assessment (IRA). Sudahkah kamu “bersahabat” dengan IRA?