Penulis: Togi B Girsang (Praktisi Tata Kelola, Manajemen Risiko, dan Kepatuhan)
BAIK Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mensyaratkan bahwa bank wajib menyampaikan Laporan Rencana Aksi Pemulihan dan Rencana Resolusi pada 30 November 2024. Penyusunan laporan ini tergolong memberatkan karena bersamaan dengan batas akhir penyampaian Rencana Bisnis Bank.
Dalam perspektif stakeholders maupun tim penyusun, kedua laporan ini membutuhkan kejelasan dan penjelasan yang kontekstual, oleh karena itu penyusunan laporan ini membutuhkan sinergi dari tingkat puncak hingga pelaksana. Laporan ini juga wajib dipahami oleh para pemangku kepentingan melalui proses komunikasi yang penuh kehati-hatian.
Sebelum sampai kepada pembahasan konteks laporan rencana aksi pemulihan dan resolusi, ada yang unik dan relevan dengan angka 5, yaitu terbitnya Peraturan OJK Nomor 5 tahun 2024 menggantikan 5 (lima) peraturan OJK, antara lain Peraturan OJK Nomor 14/POJK.03/2017, Nomor 15/POJK.03/2017, Nomor 16/POJK.03/2017, Nomor 43/POJK.03/2017, dan Nomor 2/POJK.03/2018. Sementara itu, LPS telah lebih dahulu menetapkan Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan No.1 Tahun 2021 yaitu tentang Rencana Resolusi Bagi Bank Umum.
Di dalam POJK tersebut, status pengawasan bank mengalami perubahan nomenklatur, yaitu Bank dalam Pengawasan Intensif menjadi Bank dalam Penyehatan, Bank dalam Pengawasan Khusus menjadi Bank dalam Resolusi. Untuk kedua nomenklatur baru tersebut juga mengalami perubahan kriteria.
Laporan Rencana Aksi Pemulihan dan Laporan Rencana Resolusi merupakan dua laporan yang memiliki kesamaan dan perbedaan. Kesamaannya adalah bahwa Laporan Rencana Aksi Pemulihan dilaporkan kepada OJK dan LPS, sedangkan Laporan Rencana Resolusi hanya kepada LPS. Singkatnya, Laporan Rencana Aksi Pemulihan merupakan dokumentasi informasi yang memuat aspek mitigasi ketika bank menghadapi kemungkinan gejolak di masa yang akan datang.
Sementara itu, Laporan Rencana Resolusi berisikan informasi kritikal dan seharusnya bersifat sangat rahasia. Mengapa demikian? Berdasarkan informasi dalam laporan ini, dalam kondisi bank sudah tidak dapat dipulihkan, LPS (juga pihak manapun) dapat dengan cepat menetapkan keputusan-keputusan stratejik. Singkatnya, LPS dapat memilih dan memilah opsi resolusi berdasarkan analisa-analisa yang disampaikan bank dan jangka waktu relatif singkat.
Melanjutkan pendalaman konteks, bank perlu memahami dua aspek fundamental, yaitu tujuan akhir dari tiap laporan dan menelisik lebih awal kompleksitas isi laporan yang diharapkan. Sekali lagi ditegaskan bahwa kedua laporan ini bukan laporan yang bersifat “nice to have”, tetapi bersifat hidup/dinamis sehingga baik manajemen, regulator, dan stakeholders lainnya memiliki informasi yang simetris untuk menetapkan tindak lanjut jika berhadapan pada situasi yang tidak pernah diharapkan. Oleh karena itu, proses penyusunan laporan sangat menekankan pemenuhan prinsip LAKU, yaitu Lengkap, Akurat, Kini (terkini), dan Utuh.
Setelah prinsip di atas diacu, maka perlu menguasai pokok kualifikasi di dalam penyusunan laporan meliputi pemenuhan struktur laporan, analisis komprehensif atas opsi-opsi pemulihan yang ditetapkan, mengukur trigger level untuk setiap opsi pemulihan, melanjutkan analisis yang berdampak pada delapan risiko, dan melaksanakan simulasi aktif-relevan dalam format stresstesting.
Terkait pemulihan tersebut, bank wajib menyusun opsi berdasarkan empat aspek. Permodalan, misalnya menerbitkan obligasi, penundaan pembayaran dividen, penghentian penyaluran kredit untuk debitur baru, atau trigger level dianalisis dari aspek rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM).
Sumber: Infobanknews