Penataan Ulang Perhitungan ATMR untuk Risiko Pasar, Kredit, Operasional
RMG – Seperti yang kita ketahui bersama, salah satu tugas pokok Bank adalah menjalankan fungsi intermediasi. Menurut Saunders & Garnet (2008), fungsi intermediasi keuangan adalah sebagai perantara, mengubah aset, sebagai pengawas, dan menghasilkan informasi. Dalam definisi yang lebih spesifik, fungsi intermediasi Bank adalah setelah menghimpun dana dari masyarakat lalu menyalurkan kembali dana tersebut dalam bentuk pinjaman untuk mendukung percepatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, baik pada jenis kredit produktif maupun konsumtif. Fungsi ini akan tetap terjaga apabila manajemen Bank mampu mengelola risiko yang melekat. Salah satunya adalah dengan mempersiapkan sejumlah penyangga, salah satunya adalah modal.
Selama ratusan tahun, kekuatan permodalan menjadi salah satu jaminan bahwa Bank mampu menahan goncangan dan gejolak, baik yang dipicu internal, domestik, maupun global. Jika modal tidak memadai maka otomatis tidak mampu mengompensasi kerugian dan berakhir pada kebangkrutan. Peristiwa 1998 merupakan catatan tak terlupakan, baik di mata pelaku usaha, deposan, dan regulator.
Melalui Bank Indonesia (BI) dan kemudian dilanjutkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menetapkan sejumlah regulasi terkait permodalan dan disempurnakan secara berkelanjutan. Dasar peraturan ini adalah menetapkan CAR atau lebih umum dikenal sebagai KPMM. KPMM menghasilkan seberapa besar modal minimum yang wajib dimiliki Bank dalam rangka mengantisipsi kemungkinan-kemungkinan kerugian, khususnya penurunan nilai aset. Oleh karena itu, Bank diwajibkan untuk menilai asetnya dalam terminologi disebut Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR).
BI maupun OJK telah menetapkan bahwa modal Bank dikelompokkan menjadi dua. Pertama adalah Modal Inti (Modal Tier 1) yang terdiri dari modal inti utama. Kedua adalah Modal Pelengkap (Modal Tier 2) yang berasal dari penerbitan obligasi subordinasi dengan jangka waktu tertentu. Secara prinsip, Bank diwajibkan memiliki modal minimum yang besarannya bervariasi yang ditentukan sesuai peringkat profil risiko masing-masing Bank. Biasanya berada antara 8% – 14%. Namun demikian, OJK juga mewajibkan Bank memiliki modal tambahan, yaitu terdiri dari capital conservation buffer, counter cyclical buffer, dan capital surcharge.
PERATURAN OJK NO.27 TAHUN 2022
POJK No.27 tahun 2022 diterbitkan dalam rangka melakukan penyesuaian terhadap perhitungan permodalan perbankan yang sifatnya lebih sensitif terhadap risiko, yaitu melalui penguatan manajemen risiko sesuai dengan standar internasional Basel III: Finalising post-crisis reforms (Basel III reforms). Perubahannya meliputi penyesuaian dengan Standar Basel III reforms antara lain berupa pemberlakuan kewajiban perhitungan ATMR Risiko Pasar bagi seluruh Bank sejak 1 Januari 2024. Esensi perubahan menurut Basel III Reform terdapat pada tiga Komponen Utama Fundamental Review of the Trading Book (FRTB), yaitu Sensitivity-based Method, Default Risk Charge (DRC), and Residual Risk Add-on (RRAO).
ATMR UNTUK RISIKO PASAR (NO.23/SEOJK.03/2022)
Perubahan mendasar yang tertuang dalam regulasi ini adalah terdapatnya penambahan klasifikasi trading book dan banking book, pengaturan mengenai trading desk, dan pilihan pendekatan dalam perhitungan ATMR yaitu pendekatan standar (SA) dan pendekatan standar yang disederhanakan (SSA). Hal ini merupakan tindak lanjut dari yang ditetapkan dalam FRTB oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS). Tentu saja opsi SA dan SSA sangat tergantung pada pendekatan terakhir yang dipergunakan oleh Bank. Kecil kemungkinan OJK mengijinkan bank yang menggunakan SA menjadi SSA.
Dengan pendekatan SA, eksposur risiko harus diatur ke dalam bucket yang mengandung bobot risiko dan besaran modal. Penginputan data harus diperkuat, khususnya akurasinya di dalam bucket karena sangat sensitif dalam menghasilkan bobot risiko masing-masing. Salah satu mitigasinya adalah bank harus melakukan pemantauan secara harian, baik perhitungan maupun pemantauan beban permodalan Risiko Pasar pada trading book.
Dalam satu satu kondisi tertentu, berdasarkan pendekatan SA, dalam hal Bank memiliki instrumen emas, maka instrumen tersebut diperhitungkan dalam beban modal risiko komoditas. Demikian pula jika Bank memiliki instrumen reksadana, maka instrumen tersebut diperhitungkan dalam beban modal risiko ekuitas. Dapat disimpulkan bahwa Bank secara individu yang menggunakan pendekatan standar memperhitungkan risiko komoditas (dalam hal memiliki instrumen emas) dan risiko ekuitas (dalam hal memiliki instrumen reksadana).
Dengan kata lain, proses perhitungan ATMR untuk Risiko Pasar mempertimbangkan sejumlah metodologi. Beberapa hal fundamental yang perlu untuk dipertimbangkan dalam menghitung Risiko Pasar pada trading book dengan SA meliputi teknik perhitungan KPMM dengan Metode Sensitivities-Based, antara lain instrumen yang wajib diperhitungkan, perhitungan Risiko Delta dan Vega, perhitungan KPMM agregat, add-on Risiko Residual.
Teknik lainnya terkait metode Sensitivities-Based meliputi faktor risiko dan sensitivitas, antara lain:
- Faktor Risiko Delta, Vega, dan Kurvatur
- Correlation Trading Portfolio
- Sensitivitas untuk Risiko Delta
- Sensitivitas untuk Risiko Vega
- Perlakuan Investasi Ekuitas dalam Fund
- Perlakuan Risiko Vega untuk Instrumen Multi Underlying
- Persyaratan pada Perhitungan Sensitivitas
ATMR UNTUK RISIKO KREDIT (NO.24/SEOJK.03/2021)
Perhitungan ATMR Risiko Kredit dilakukan menggunakan pendekatan standar (standardized approach) yang mencakup tiga kelompok besar meliputi: Tagihan Bersih, Penetapan Bobot Risiko sesuai Kategori portfolio, dan Pengakuan Teknik Mitigasi Risiko Kredit (MRK). Secara fundamental, regulasi ini memengaruhi aspek perubahan yaitu dalam rangka meningkatkan ketahanan permodalan dan sensitivitas terhadap risiko.
Pertama adalah terkait bobot risiko, yaitu lebih granular dan dibagi menjadi lebih banyak bucket. Kedua adalah klasifikasi kategori portofolio yang lebih beragam, termasuk kategori kredit/tagihan, pengaturan LTV, hingga pemisahan perhitungan Credit Valuation Adjustment (CVA) yang diatur dalam regulasi ATMR Risiko Pasar. Ketiga adalah keharusan due diligence terhadap pihak lawan untuk memastikan pemahaman atas profil risiko dan karakteristik dari pihak lawan serta telah dikenakan bobot risiko yang sesuai, dan tidak bergantung pada peringkat eksternal.
ATMR UNTUK RISIKO OPERASIONAL (NO.6/SEOJK.03/2020)
Regulasi ini adalah bagian dari respon OJK dalam rangka memenuhi standar Basel III Reforms tahun 2017. Pendekatan perhitungan ATMR Risiko Operasional menggunakan pendekatan standar bagi bank umum yang bersifat sederhana, dapat diperbandingkan, dan lebih sensitif terhadap risiko. SEOJK ATMR Risiko Operasional ini telah dimasukkan dalam perhitungan rasio KPMM dan dilaporkan kepada OJK, yaitu untuk pertama kali pada 1 Januari 2023.
Formulasi dasar yang ditentukan adalah dengan menetapkan 12,5 dikalikan Modal Minimum Risiko Operasional (disingkat MMRO). Jika disederhanakan urut-urutannya menjadi:
- MMRO = KIB x FPKI = (IB x α) x FPKI
- Komponen Indikator Bisnis (KIB) adalah komponen yang dihasilkan melalui perkalian antara Indikator Bisnis (IB) dengan koefisien marjinal (α). Koefisien marjinal (α) berupa angka 12%, 15%, atau 18%.
- FPKI merupakan angka yang dikalikan dengan KIB untuk mendapatkan MMRO. Besaran FPKI tergantung dari seberapa besar kerugian risiko operasional yang dialami bank selama 10 (sepuluh) tahun sebelumnya.
- IB dihitung dengan mempertimbangkan Komponen Bunga, Sewa, dan Dividen (KBSD), Komponen Jasa (KJ), dan Komponen Keuangan (KK).
PENUTUP
Seluruh regulasi yang diterbitkan OJK merupakan cerminan bahwa sistem keuangan khususnya perbankan wajib mendapat perhatian utama, khususnya untuk menjaga ketahanan permodalan dan mengantisipasi segala bentuk gejolak yang dapat memengaruhi kinerja perbankan. Perubahan demi perubahan regulasi serta upaya untuk mengadopsi kesepakatan tingkat global merupakan bentuk nyata dinamisasi yang dapat diantisipasi, baik oleh regulator maupun perbankan.